Sunday, April 19, 2015

Mahasiswa Baru


Perpindahan status dari Pelajar ke Mahasiswa itu mungkin seperti perpindahan yang dulunya anak kost sekarangnya mengontrak, berpindah dari kebun binatang ke taman margasatwa. Mungkin karena gue belum lama kuliah dan masih belum bisa menjadi mahasiswa yang sesungguhnya makanya gue ngomong kaya gini.

Kehidupan sekarang dengan status mahasiswa mungkin sedikit menjadi beban ketika gue pulang ke kampung halaman dan sering kali dibandingkan sama anak tetangga yang sekarang sudah bisa menghasilkan uang. Kebalik sama gue yang menghasilkan tumpukan kertas tugas dan tumpukan pakaian kotor.
Dengan status sebagai mahasiswa ini gue dihadapkan dengan beberapa suasana yang waktu SMA gue belum ngerasain. Dari yang kantin kampus selalu ramai didatangi beberapa stasiun TV buat shooting, banyak kontes-kontes remaja dengan pakaian ter-irit, sampai beberapa lumba-lumba pun datang ke kampus saat malam puncak Masa Orientasi. Lumba-lumba tersebut datang dengan aksi mengepakan kedua tangan sambil membusungkan dada dengan mulut monyong mangap terbuka lebar. Tapi saat gue makan di warteg yang ada tv nya gue ngelihat lagi tuh lumba-lumba beraksi hal yang sama seperti saat malam puncak itu. Dan ternyata lumba-lumba itu adalah artis yang lagi ngetop pas gue engga pernah nonton tv lagi. Gue tau setelah gue browsing gambar lumba-lumba yang sesungguhnya yang ternyata engga mirip sama yang gue maksud itu. Gue hanya tau lumba-lumba dari guru TK dan belum pernah ngelihat langsung, makanya gue langsung menyimpulkan saat ada makhluk yang mirip dengan ciri-ciri yang biasa disebutkan guru TK tentang lumba-lumba.
Ini semua akibat suasana diperkuliahan yang terletak di ibukota, gue jadi tukang gosip gini. Gue terlempar jauh dari rumah dan mecoba mencari ilmu di ibukota. Gue mencari ilmu karena kalau gue merantau memperbaiki nasib gue takut pas pulang berubah menjadi batu.
Hingga pada saat nya kelas pertama pada perkuliahan gue dimulai. Dosen mempersilahkan mahasiswanya maju satu per satu untuk memperkenalkan diri. Gue duduk di barisan ketiga dihitung dari depan. Sambil memperhatikan mahasiswa memperkenalkan diri, gue senyum-senyum cengengesan engga jelas mendengar mereka memperkenalkan dirinya. Ini adalah trik PuraPuraMemperhatikanPadahalLagiMikir (PPMPLM). Gue bingung mau ngomong apa kalo sudah bagian gue yang maju memperkenalkan diri didepan. Apa gue harus bilang kalo gue ganteng sampai supir busway pun naksir sama gue? Atau gue memperkenalkan diri dengan menyebutkan asal gue dari kebun binatang mana? Gue terus menerapkan trik PPMPLM.
Hingga akhirnya saat yang engga gue tunggu pun tiba.
“Silahkan selanjutnya”. Suara dosen pun terdengar seperti suara pengeksekusi mati yang mempersilahkan tersangkanya buat di tembak.
Gue maju masih dengan cengengesan. Maju dengan sepatu kegedean dengan kaus kaki yang kepanjangan mirip kaya pemain bola yang bermain dipinggir lapangan ngambilin bola, pake baju kemeja merah darah yang mirip banget kaya orang mau pergi kekondangan mantan, celananya masih model cutbrai model artis 80’an dan hidung gede gue pun memerah dengan di iringi muka cengengesan kaya mau nahan boker.
Gue pun dengan terpaksa maju ke panggung pengeksekusian.
“Perkenalkan, nama saya Ade, saya dari daerah jawa yang berusaha buat menjadi terkenal di Jakarta, setidaknya buat ngalahin badut di ancol. saya dari jusan Teknik Informatika”. Sejenak gue menghela nafas sambil kecewa ternyata tak ada yang memperhatikan selain dosen yang sepertinya mendengarkan tetapi paling besok juga lupa dengan nama gue dan mungkin akan manggil gue dengan sebutan badut ancol. “Mungkin itu saja dari saya sekian dan terimakasih”. Tanpa basa basi lagi gue menyudahi pidato calon badut ancol ini.
Gue ngerasa kaya calon yang pas untuk Badut Ancol versi Kampus setelah penampilan gue yang serba kegedean ini. Namun setelah gue balik ke tempat duduk, ternyata ada yang ngalahin gue sebagai kandidat kuat badut ancol. Namun ini bukan sejenis badut, lebih mirip kaya gajah bengkak engga bisa duduk.
“Nama gue Rindu”. Anak kandidat kuat peraih penghargaan kategori binatang terbengkak ini pun memperkenalkan diri setelah dosen kembali mengeluarkan kata-kata pengeksekusian untuk pesertanya ini.
Dia berbadan sangat besar dengan celana yang tentu mempunyai ukurannya sendiri dan baju dengan model yang belum pernah gue lihat. Dia memakai baju kemeja bahan yang mungkin dibuat oleh penjahit khusus yang dibayarnya untuk mempersiapkan baju-baju nya saat show. Ya seperti saat ini.
Setelah makhluk besar itu tampil, ternyata masih ada lagi yang masih aneh dari anak-anak kelas ini. Dari yang matanya sipit tapi waktu di paksa suruh jadi orang china tapi dianya engga mau karena takut durhaka sama ema nya. Ada yang rambutnya jarang banget, mungkin dia lulusan dari STM atau gue fikir dia lebih terlihat seperti lahan yang harus direboisasi. Kacamata kegedean, sepatu belang-belang, perhiasan berbentuk batu di mana-mana, dan entah apalagi yang akan gue lihat dalam status sebagai mahasiswa ini yang gue fikir ini baru permulaan dalam satu kelas. Gue engga bayangin seberapa banyak nya yang gue temuin orang-orang kaya mereka yang sepertinya cocok untuk bermain dalam film fiksi didalam universitas ini.
Gue rasa kandidat sebagai calon badut ancol pun bisa gue hindari melihat banyak yang lebih menarik dari gue untuk di jadiin bulan-bulanan jajanan kakak-kakak tingkat di kampus ini.
Setelah satu persatu mahasiswa maju memperkenalkan diri, dosen pun kembali menugaskan mahasiswanya untuk membuat kelompok belajar. Gue pun dengan polosnya diam dan memperoleh kelompok seadanya. Gue melihat dikelas waktu itu rame, karna mungkin mereka milih-milih teman belajarnya dengan yang sudah dikenal. Pembagian kelompok pun berakhir dengan damai dari kubu merah yang notabene orang Jakarta yang mempunyai kenalan dikelas dan dari kubu oranye pun damai diam semua karena mereka pendatang, termasuk gue. Akhirnya gue mendapat kelompok belajar dengan lima orang termasuk gue.
Teman kelompok belajar gue berasal dari luar Jakarta semua, paling  juga ada dari Tangerang dan gue tau Tangerang itu sudah termasuk diluar Jakarta semenjak lepas dari Jawa Barat, gue tau itu.
Temen kelompok gue yang dari Tangerang itu bernama Didi. Dia peranakan sunda namun matanya sipit sekali sehingga kalo dia lewat pinggir kolam gue sebagai temen yang peduli terhadap ikan, gue selalu pengangin dia. Gue takut dia engga bisa bedain mana pinggiran kolam sama mana pinggiran peta game. Soalnya hidup dia hanya untuk bermain game.
Inu, iya itu nama temen gue dari banyuwangi yang katanya rumahnya deket dengan gunung, tapi entah gunung apa dia selalu menolak bila disuruh menggambar gunungnya. Belum banyak yang dapat di deskripsikan dari anak banyuwangi ini karena dia lebih memilih diam daripada disuruh maju untuk membayar makan.
Yang berikutnya ada yang namanya Triya, dia keturunan Cina asli namun sejak kecil sudah tinggal di Indonesia, tepatnya di Indramayu Jawa Barat. Gue juga merasa aneh di kalo di Indramayu ternyata ada keturunan Cina. Triya ini temen gue waktu SMK hanya saja beda kelas, karena perbedaan ini kita engga pernah pacaran, ya gue tau kalo gue masih normal.
Yang terakhir dia bernama Shabi. Shabi adalah manusia satu-satunya di kelompok ini yang berasal dari luar pulau jawa. Dia berasal dari daerah Jambi, dan kali ini gue nyerah buat ngarang asal usul nih bocah. Alasannya gue sama sekali belum pernah keluar pulau jawa, kecuali pulau kapuk.

Dimulai dari pembentukan kelompok belajar itu hingga sampai sekarang kita selalu main bareng dan kemana-mana bareng. Dan ternyata ini awal dari malapetaka itu bermula.