Perpindahan
status dari Pelajar ke Mahasiswa itu mungkin seperti perpindahan yang dulunya
anak kost sekarangnya mengontrak, berpindah dari kebun binatang ke taman
margasatwa. Mungkin karena gue belum lama kuliah dan masih belum bisa menjadi
mahasiswa yang sesungguhnya makanya gue ngomong kaya gini.
Kehidupan
sekarang dengan status mahasiswa mungkin sedikit menjadi beban ketika gue
pulang ke kampung halaman dan sering kali dibandingkan sama anak tetangga yang
sekarang sudah bisa menghasilkan uang. Kebalik sama gue yang menghasilkan
tumpukan kertas tugas dan tumpukan pakaian kotor.
Dengan
status sebagai mahasiswa ini gue dihadapkan dengan beberapa suasana yang waktu
SMA gue belum ngerasain. Dari yang kantin kampus selalu ramai didatangi beberapa
stasiun TV buat shooting, banyak
kontes-kontes remaja dengan pakaian ter-irit, sampai beberapa lumba-lumba pun
datang ke kampus saat malam puncak Masa Orientasi. Lumba-lumba tersebut datang
dengan aksi mengepakan kedua tangan sambil membusungkan dada dengan mulut
monyong mangap terbuka lebar. Tapi saat gue makan di warteg yang ada tv nya gue
ngelihat lagi tuh lumba-lumba beraksi hal yang sama seperti saat malam puncak
itu. Dan ternyata lumba-lumba itu adalah artis yang lagi ngetop pas gue engga
pernah nonton tv lagi. Gue tau setelah gue browsing gambar lumba-lumba yang
sesungguhnya yang ternyata engga mirip sama yang gue maksud itu. Gue hanya tau
lumba-lumba dari guru TK dan belum pernah ngelihat langsung, makanya gue
langsung menyimpulkan saat ada makhluk yang mirip dengan ciri-ciri yang biasa
disebutkan guru TK tentang lumba-lumba.
Ini
semua akibat suasana diperkuliahan yang terletak di ibukota, gue jadi tukang
gosip gini. Gue terlempar jauh dari rumah dan mecoba mencari ilmu di ibukota.
Gue mencari ilmu karena kalau gue merantau memperbaiki nasib gue takut pas
pulang berubah menjadi batu.
Hingga
pada saat nya kelas pertama pada perkuliahan gue dimulai. Dosen mempersilahkan
mahasiswanya maju satu per satu untuk memperkenalkan diri. Gue duduk di barisan
ketiga dihitung dari depan. Sambil memperhatikan mahasiswa memperkenalkan diri,
gue senyum-senyum cengengesan engga jelas mendengar mereka memperkenalkan
dirinya. Ini adalah trik PuraPuraMemperhatikanPadahalLagiMikir (PPMPLM). Gue
bingung mau ngomong apa kalo sudah bagian gue yang maju memperkenalkan diri
didepan. Apa gue harus bilang kalo gue ganteng sampai supir busway pun naksir
sama gue? Atau gue memperkenalkan diri dengan menyebutkan asal gue dari kebun
binatang mana? Gue terus menerapkan trik PPMPLM.
Hingga
akhirnya saat yang engga gue tunggu pun tiba.
“Silahkan
selanjutnya”. Suara dosen pun terdengar seperti suara pengeksekusi mati yang
mempersilahkan tersangkanya buat di tembak.
Gue
maju masih dengan cengengesan. Maju dengan sepatu kegedean dengan kaus kaki
yang kepanjangan mirip kaya pemain bola yang bermain dipinggir lapangan
ngambilin bola, pake baju kemeja merah darah yang mirip banget kaya orang mau
pergi kekondangan mantan, celananya masih model cutbrai model artis 80’an dan
hidung gede gue pun memerah dengan di iringi muka cengengesan kaya mau nahan
boker.
Gue
pun dengan terpaksa maju ke panggung pengeksekusian.
“Perkenalkan,
nama saya Ade, saya dari daerah jawa yang berusaha buat menjadi terkenal di Jakarta,
setidaknya buat ngalahin badut di ancol. saya dari jusan Teknik Informatika”.
Sejenak gue menghela nafas sambil kecewa ternyata tak ada yang memperhatikan
selain dosen yang sepertinya mendengarkan tetapi paling besok juga lupa dengan
nama gue dan mungkin akan manggil gue dengan sebutan badut ancol. “Mungkin itu
saja dari saya sekian dan terimakasih”. Tanpa basa basi lagi gue menyudahi
pidato calon badut ancol ini.
Gue
ngerasa kaya calon yang pas untuk Badut Ancol versi Kampus setelah penampilan
gue yang serba kegedean ini. Namun setelah gue balik ke tempat duduk, ternyata
ada yang ngalahin gue sebagai kandidat kuat badut ancol. Namun ini bukan
sejenis badut, lebih mirip kaya gajah bengkak engga bisa duduk.
“Nama
gue Rindu”. Anak kandidat kuat peraih penghargaan kategori binatang terbengkak
ini pun memperkenalkan diri setelah dosen kembali mengeluarkan kata-kata pengeksekusian
untuk pesertanya ini.
Dia
berbadan sangat besar dengan celana yang tentu mempunyai ukurannya sendiri dan
baju dengan model yang belum pernah gue lihat. Dia memakai baju kemeja bahan
yang mungkin dibuat oleh penjahit khusus yang dibayarnya untuk mempersiapkan
baju-baju nya saat show. Ya seperti
saat ini.
Setelah
makhluk besar itu tampil, ternyata masih ada lagi yang masih aneh dari
anak-anak kelas ini. Dari yang matanya sipit tapi waktu di paksa suruh jadi
orang china tapi dianya engga mau karena takut durhaka sama ema nya. Ada yang
rambutnya jarang banget, mungkin dia lulusan dari STM atau gue fikir dia lebih
terlihat seperti lahan yang harus direboisasi. Kacamata kegedean, sepatu
belang-belang, perhiasan berbentuk batu di mana-mana, dan entah apalagi yang
akan gue lihat dalam status sebagai mahasiswa ini yang gue fikir ini baru
permulaan dalam satu kelas. Gue engga bayangin seberapa banyak nya yang gue
temuin orang-orang kaya mereka yang sepertinya cocok untuk bermain dalam film
fiksi didalam universitas ini.
Gue
rasa kandidat sebagai calon badut ancol pun bisa gue hindari melihat banyak
yang lebih menarik dari gue untuk di jadiin bulan-bulanan jajanan kakak-kakak
tingkat di kampus ini.
Setelah
satu persatu mahasiswa maju memperkenalkan diri, dosen pun kembali menugaskan
mahasiswanya untuk membuat kelompok belajar. Gue pun dengan polosnya diam dan
memperoleh kelompok seadanya. Gue melihat dikelas waktu itu rame, karna mungkin
mereka milih-milih teman belajarnya dengan yang sudah dikenal. Pembagian
kelompok pun berakhir dengan damai dari kubu merah yang notabene orang Jakarta
yang mempunyai kenalan dikelas dan dari kubu oranye pun damai diam semua karena
mereka pendatang, termasuk gue. Akhirnya gue mendapat kelompok belajar dengan
lima orang termasuk gue.
Teman
kelompok belajar gue berasal dari luar Jakarta semua, paling juga ada dari Tangerang dan gue tau Tangerang
itu sudah termasuk diluar Jakarta semenjak lepas dari Jawa Barat, gue tau itu.
Temen
kelompok gue yang dari Tangerang itu bernama Didi. Dia peranakan sunda namun
matanya sipit sekali sehingga kalo dia lewat pinggir kolam gue sebagai temen
yang peduli terhadap ikan, gue selalu pengangin dia. Gue takut dia engga bisa
bedain mana pinggiran kolam sama mana pinggiran peta game. Soalnya hidup dia
hanya untuk bermain game.
Inu,
iya itu nama temen gue dari banyuwangi yang katanya rumahnya deket dengan
gunung, tapi entah gunung apa dia selalu menolak bila disuruh menggambar
gunungnya. Belum banyak yang dapat di deskripsikan dari anak banyuwangi ini
karena dia lebih memilih diam daripada disuruh maju untuk membayar makan.
Yang
berikutnya ada yang namanya Triya, dia keturunan Cina asli namun sejak kecil
sudah tinggal di Indonesia, tepatnya di Indramayu Jawa Barat. Gue juga merasa
aneh di kalo di Indramayu ternyata ada keturunan Cina. Triya ini temen gue
waktu SMK hanya saja beda kelas, karena perbedaan ini kita engga pernah pacaran,
ya gue tau kalo gue masih normal.
Yang
terakhir dia bernama Shabi. Shabi adalah manusia satu-satunya di kelompok ini
yang berasal dari luar pulau jawa. Dia berasal dari daerah Jambi, dan kali ini
gue nyerah buat ngarang asal usul nih bocah. Alasannya gue sama sekali belum
pernah keluar pulau jawa, kecuali pulau kapuk.
Dimulai
dari pembentukan kelompok belajar itu hingga sampai sekarang kita selalu main
bareng dan kemana-mana bareng. Dan ternyata ini awal dari malapetaka itu
bermula.
Post a Comment